"Ya, aku mau dibaca!
aku mau dibaca oleh negarawan-negarawan yang berkewajiban memperhatikan tanda-tanda zaman; -
oleh sastrawan-sastrawan yang juga harus membaca buku itu yang begitu banyak
dijelek-jelekkan orang…;
- oleh anggota-anggota perwakilan rakyat yang harus
mengetahui apa yang bergolak dalam kerajaan besar di seberang lautan,
yang adalah sebagian dari kerajaan Belanda… Maka akan kuterjemahkan bukuku
dalam bahasa Melayu, Jawa, Sunda, Alifuru, Bugis, Batak…”
Tentu
“
Max Havelaar” tak lagi asing bagi kebanyakan, apalagi siswa-siswi yang baru
saja belajar sejarah di sekolahnya. Tapi adakah dari mereka pernah benar-benar
memegang buku itu dan pada akhirnya, lewat buku itu, mengenang suatu masa yang
belum pernah mereka hadiri; masa penderitaan hebat negara ini yang berujung
pada kebebasan, kebebasan yang dapat kita nikmati saat ini?
Saya
sendiri baru menduduki kelas 3 SMA, dan masih ingat bahwa judul buku itu pernah
diungkit dalam suatu pelajaran sejarah ketika saya masih duduk di bangku SD.
Tapi tak pernah sekalipun ada yang berkata bahwa buku itu begitu berharga, dan
bahkan dianggap sebagai salah satu faktor hilangnya sistem kolonial. Maka dari
itu tak dapatlah disalahkan jika taka da dari kami yang memiliki rasa penasaran
begitu kuat terhadap isinya. Saya hampir lupa akan judul itu, hingga beberapa
minggu yang lalu.
Jika
Guru Bahasa Indonesia saya tak berkata satu patah kata pun mengenai kehadiran
buku itu di perpustakaan kami, saya tak akan pernah tahu. Ketika saya berhasil
memilikinya untuk selang waktu tiga minggu, waktu yang begitu singkat dan
sesungguhnya tak cukup untuk menggarap seluruh babnya, saya melihat tahun
percetakannya. Tahun 2000. Sungguh lama, mengingat sekarang sudah tahun 2012.
Dan ironis jika dibayangkan lebih dalam lagi, sebab menurut keterangan Guru
saya, buku ini adalah buku wajib baca bagi siswa-siswi negara asal Douwes
Dekker yang juga negara eks penjajah. Ya, Belanda.
Sedangkan
disini? Adakah pernah?
Baiklah,
tak akan saya lanjuti, sebab saya tidak tahu dimana letak kesalahan yang
membuat karya ini seakan-akan hilang. Atau barangkali, karya itu masih
dibisikkan, hanya saja saya yang terlalu sibuk menata rumus dan teori untuk
melaju ke tingkat pendidikan berikutnya.
Max
Havelaar ditulis oleh Multatuli (alias Douwes Dekker), seorang yang cinta
kejujuran, sebagaimana ia ungkapkan dalam pengantar buku itu. Multatuli sendiri
memiliki arti “aku telah banyak menderita”. Ia mempersembahkan buku yang ia
tulis dalam hidup kemiskinannya kepada raja Belanda Willem ketika dan Kaisar
kerajaan Insulinde.
Sayang
sekali saya tak mampu membaca seluruh isi Max Havelaar oleh karena
kekurangmampuan saya menggarap selembar halaman pun dalam waktu singkat
(barangkali karena tingkat sastranya yang tinggi), sehingga sampai sejauh ini
saya baru melewati beberapa dari sekian banyak bab. Tapi ada satu bab yang
begitu memikat perhatian saya, barangkali karena keindahan sajak-sajaknya dan
alurnya yang memilukan. Bab itu tak lain lagi merupakan episode Saijah dan
Adinda.
Oleh
sebab itu, mumpung buku itu masih saya letakkan persis di sebelah laptop
kepunyaan saya, akan saya bagikan sepotong isi buku itu yang begitu indah dan
mengharukan, yakni kisah “Saijah dan Adinda”. Kisah ini merupakan gugatan
Multatuli yang dibungkus gaya roman nan indah, dan saya percaya inilah yang
dapat membuat generasi kini dan nanti mengenang penderitaan begitu hebat yang
pernah melanda negeri mereka. Saya tidak ingin karya itu hilang begitu saja,
terlupakan dan terkubur zaman. Saya ingin karya itu tetap abadi, sebab
Multatuli sendiri berkata dengan lantang dalam suatu lembaran di bukunya, “Aku
mau dibaca!”
Ayah Saijah mempunyai seekor kerbau ; dengan kerbau itulah ia
mengerjakan sawahnya. Ketika kerbau itu dirampas oleh kepala distrik
Parangkujang, ia sangat bersedih hati, ia tidak berkata sepatah kata, berhari-hari
lamanya. Sebab sebentar lagi tiba musim membajak, dan ia kuatir kalau tidak
cepat ia mengerjakan sawah, waktu menyemaipun akan terlewat, dan akhirnya tidak
ada padi yang akan dipotong untuk disimpan di dalam lumbung rumah.
Pelu saya jelaskan kepada pembaca yang menenal Jawa, tapi tidak mengenal Banten
bahwa di residensi itu ada hak milik tanah pribadi, sedang di tempat lain tidak
ada. Maka ayah Saijah pun sangat prihatin. Ia kuatir isterinya akan kekurangan
beras, dan juga Saijah yang masih kecil, dan adik-adiknya laki dan perempuan.
Pun mungkin kepala distrik akan mengadukannya kepada asisten residen, jika ia
terlambat membayar pajak tanah, sebab bisa dihukum menurut undang-undang. Lalu
ayah Saijah mengambil keris pusaka warisan ayahnya. Keris itu tidak begitu
bagus, tapi sarungnya berikat perak, dan diujung sarung itu ada pula pelat
perak. Dijualnya keris itu kepada kepada seorang Cina yang tinggal di ibukota,
dan ia pulang ke rumah dengan 24 gulden; dengan uang itulah ia membeli seekor
kerbau lagi.
Saijah, yang kira-kira waktu itu kira-kira berusia tujuh tahun, segera
bersahabat dengan kerbau baru itu. Bukan tanpa maksud saya mengatakan :
bersahabat ; - sebab sungguh mengaharukan jika kita melihat betapa senang
kerbau jawa itu dengan anak kecil, yang menjaga dan memeliharanya. Mengenai
rasa senang kerbau itu nanti akan saya beri contoh yang bukan khayalan.
Binatang yang besar dan kuat itu menggerakkan kepalanya yang berat itu ke kanan
atau ke kiri atau ke bawah menurutkan tekanan jari si anak itu, yang dia kenal,
dia mengerti, dengan siapa ia besar bersama-sama.
Memang Saijah kecil mempunyai rasa persahabatan yang sangat besar sehingga
pendatng baru itu segera merasakannya, dan suara kanak-kanak Saijah yang
menggalakkannya itu seolah-olah memberi lebih banyak tenaga kepada pundak yang
kukuh dari binatang yang kuat itu, apabila ia membelah tanah liat yang padat,
dan meninggalkan bekas bajakan yang dalam dan tajam. Kerbau itu dengan patuh
berbalik, bila ia tiba di ujung ladang dan tidak seincipun tanah yang
dilangkauinya ketika kembali membajak alur yang baru, yang selalu berhampiran
dengan yang sebelumnya, seakan-akan sawah itu tanah kebun yang digaruk oleh
gergasi.
Di sebelahnya terbentang sawah-sawah ayah Adinda, ayah gadis yang akan kawin
dengan Saijah ; dan bila adik-adik adinda datang, di batas antara sawah-sawah
mereka, justru jika juga Saijah ada disana dengan bajaknya, merekapun berseru
gembira yang satu kepada yang lain, dan memuji atas mengatasi kekuatan dan
kepatuhan kerbaunya. Tapi saya kira kerbau Saijahlah yang paling baik,
barangkali juga karena Saijah pandai menegornya, lebih pandai dari orang lain,
dan kerbau sangat peka terhadap tegoran yang baik. Saijah sudah sembilan tahun
dan Adinda enam tahun, ketika kerbau itu dirampas dari ayah Saijah oleh kepala
distrik Parangkujang. Maka ayah Saijah yang amat miskin, menjual kepada seorang
Cina dua penggait kelambu,- barang pusaka mertuanya, - laku 18 gulden ; dan
dengan uang itu dibelinya seekor kebau lagi.
Tapi Saijah sedih sekali. Sebab ia mendengar dari adik-adik Adinda bahwa kerbau
yang sebelumnya dibawa ke ibukota, dan ditanyakannya kepada ayahnya apakah ia
tidak melihat kerbau itu ketika ia pergi ke sana untuk menjual penggait
kelambu. Ayah Saijah tidak mau menjawab pertanyaan itu. Karena itu ia kuatir
kerbaunya itu telah disembelih, seperti kerbau-kerbau lain yang dirampas oleh
kepala distrik dari penduduk. Dan Saijah menangis dan menangis bila ia teringat
kerbau yang malang itu, pergaulannya yang akrab dengannya dua tahun lamanya ;
dan ia tidak dapat makan, lama ia tak dapat makan, sebab kerongkongannya terasa
sempit bila ia menelan. Kita harus ingat bahwa Saijah masih anak-anak.
Kerbau yang baru itu mulai mengenal Saijah, dan segera menggantikan kerbau
terdahulu dalam hatinya. Terlalu cepat sebenarnya, sebab, aduhai, kesan-kesan
lilin di dalam hati kita begitu mudah hapus digantikan tulisan kemudian.
Betapapun juga, sekalipun kerbau baru itu tidak begitu kuat seperti yang
sebelumnya, sekalipun gandar yang lama terlalu lebar untuk pundaknya, tapi
binatang yang malang itu patuh seperti yang terdahulu yang sudah disembelih ;
dan meskipun Saijah tidak dapat lagi membanggakan kekuatan kerbaaunya, waktu
bertemu adik-adik Adinda di perbatasan, namun ia mengatakan tidak ada yang
lebih unggul dari kerbaunya dalam hal kemauan baik ; dan bila alur tidak begitu
lurus seperti yang terdahulu, atau bila ada gumpal-gumpal tanah yang terlewat
tanpa di bajak, dengan senang hati ia mencangkulnya dengan pacul,
sebisa-bisanya. Lagi pula tidak ada kerbau yang punya user-useran seperti
kerbaunya. Penghulu sendiri mengatakan bahwa kerbau itu membawa untung, karena
ada sesuatu yang istimewa dalam jalan user-useran di pundak bagian belakangnya.
Sekali di tengah padang Saijah sia-sia menyeru kerbaunya untuk bergesa.
Binatang itu berdiri tanpa bergerak. Saijah, kesal karena ia begitu
membangkang,- tidak biasa binatang itu membangkang demikian, - tidak dapat
menahan diri dan mengeluarkan kata-kata yang menghina. Katanya ; a.s .Tiap
orang yang pernah ke Hindia mengerti apa maksudnya ; dan barangsiapa yang tidak
mengeti , beruntung jika saya tidak menerangkan ucapan yang kasar itu.
Tapi Saijah tidak bermaksud buruk dengan kata-katanya itu. Dia hanya
mengatakannya, karena ia sering mendengar orang lain mengatakannya, jika mereka
tidak senang. Tapi ia tidak perlu mengatakannya sebab sia-sia belaka ; kerbau
itu tidak beranjak selangkahpun. Ia menggelengkan kepala seolah-olah hendak
melemparkan gandarnya, nafasnya nampak keluar dari lubang hidungnya ; ia
mendengus, gemetar, matanya yang biru nampak penuh ketakutan, dan bibirnya
sebelah atas tertarik ke atas hingga gusinya kelihatan.
“Lari, lari, Saijah”, teriak adik-adik Adinda, “lari ada macan!”.
Dan semuanya melepaskan gandar kerbaunya, mereka melompat ke atas punggung-punggung
kerbau yang lebar itu, dan mencongklang melalui sawah, galangan, menempuh
lumpur, hutan belukar dan alang-alang, melalui lebuh dan padang, dan ketika
mereka mendudu masuk ke desa Badur, penuh keringat, Saijah tidak ada bersama
mereka.
Sebab setelah ia melepaskan gandaran kerbaunya, dan naik ke atas punggungnya
untuk lari seperti kawan-kawannya, suatu loncatan tiba-tiba membuat ia
kehilangan keseimbangan dan jatuh ke tanah. Harimau itu sudah dekat sekali…
Kerbau Saijah, terbawa oleh kecepatannya sendiri, terlewat beberapa loncatan
dari tempat dimana tuan kecilnya menunggu maut. Oleh kecepatannya sendiri,
bukan dengan kemauannya sendiri binatang itu melewati Saijah, sebab baru saja
ia mengalahkan gaya pendororng yang menguasai segala benda, juga sesudah tidak
ada lagi musabab yang mendorongnya,- diapun berbalik, ia berdiri di atas
kakinya yang umbang, tubuhnya yang umbang di atas anak itu , melindunginya dan
dengan kepalanya yang bertanduk ia menghadapi macan itu. Binatang buas itu
melompat, tapi ia melompat untuk penghabisan kalinya. Kerbau itu menyambutnya
dengan tanduknya, ia hanya kehilangan sedikit daging pada lehernya kena cakar
oleh macan itu. Macan itu terkapar di tanah dengan perut terbuka, dan Saijah
selamat. Memang user-useran kerbau itu membawa untung ! .
Ketika kerbau itu dirampas dari ayah Saijah dan disembelih… Saya telah katakan,
pembaca, bahwa cerita saya menjemukan.
Ketika kerbau itu disembelih, Saijah sudah berumur 12 tahun, dan Adinda sudah
pandai menenun sarung, dibatiknya dengan kepala tajam. Dia sudah memasukkan
pikiran dalam tabung cantingnya, dan digambarnya dukacita pada kain yang
ditenunnya, sebab dilihatnya Saijah bermuram durja.
Pun ayah Saijah bersedih hati, tapi lebih-lebih lagi ibunya. Dialah yang
menyembuhkan luka di leher binatang yang setia itu, yang membawa anaknya pulang
dengan selamat ; mendengar berita dari adik-adik Adinda ia mengira bahwa
anaknya telah dibawa lari oleh harimau itu. Sering-sering ia melihat luka itu
dan ia berpikir alangkah dalamnya cakar itu masuk ke dalam urat-urat kasar
kerbau itu, sedalam itulah cakar itu sedianya masuk ke dalam tubuh lenbut
anaknya dan setiap kali bila ia menaruh daun-daunan yang baru pada luka itu,
dielus-elusnya kerbau itu, diucapkannya kata-kata yang mesra, sehingga mestinyalah
binatang yang baik dan setia itu mengetahui betapa besar terima kasih seorang
ibu. Kemudian ia ingin hendaknya kerbau itu mengerti juga kata-katanya, sebab
jika demikian tentu kerbau itu juga mengerti mengapa ia menangis, ketika ia
dibawa untuk disembelih, dan tentu kebau itu mengetahui bukanlah ibu Saijah
yang menyuruhnya disembelih.
Beberapa waktu sesudah itu ayah Saijah melarikan diri dari desanya, sebab ia
takut sekali dihukum jika tidak membayar pajak tanahnya, dan ia tidak mempunyai
harta pusaka lagi untuk pembeli kerbau yang lain ; orang tuanya seumur hidupnya
tinggal di Parangkujang, karena itu sedikit sekali meninggalakan warisan. Pun
kedua mertuanya seumur hidupnnya tinggal di distrik yang sama. Tapi sesudah
kehilangan kerbaunya yang terakhir ia masih bertahan beberapa tahun dengan
bekerja mempergunakan kerbau sewaan, tapi pekerjaan itu sangat tidak
menyenangkan, dan terutama menyedihkan bagi orang yang pernah memiliki kerbau
sendiri. Ibu Saijah meninggal karena dukacitanya ; dan ketika itulah ayahnya
dalam saat putus asa menghilang dari Banten untuk mencari pekerjaan di daerah
Bogor. Tapi ia dihukum dera dengan rotan, karena meninggalkan Lebak tanpa pas,
dan ia dibawa kembali oleh polisi ke Badur. Ia dimasukkan ke dalam penjara
karena dianggap gila, dan saya kira memang demikian, dan karena orang kuatir
bahwa ia kana mata gelap dan mengamuk, atau melakukan kesalahan lain. Tapi ia
tidak lama dalam penjara, sebab tidak lama sesudah itu ia mati. Apa jadinya
dengan adik-adik Saijah saya tidak tahu.
Rumah kecil yang mereka diami beberapa waktu kosong, dan tidak lama kemudian
roboh, karena hanya terbuat dari bambu dan memakai atap. Sedikit debu dan
kotoran menutupi tempat dimana pernah orang mengalami begitu banyak
penderitaan. Banyak tempat-tempat semacam itu di Lebak.
Saijah sudah 15 tahun ketika ayahnya berangkat ke Bogor. Ia tidak ikut serta
dengan ayahnya sebab ia mempunyai rencana-rencana yang lebih besar. Ia
mendengar bahwa di Betawi banyak tuan-tuan tanah yang naik bendi, jadi mungkin
baginya mudah mendapatkan pekerjaan sebagai kacung bendi ; untuk itu biasanya
dicari seorang yang masih muda dan belum dewasa supaya kendaraan dua roda itu
tidak kehilangan keseimbangan karena terlalu berat dibelakang.
Dia akan banyak mendapat uang, demikian kata orang, jika tingkah lakunya baik
dalam pekerjaan demikian itu ; barangkali ia dengan cara itu dalam tiga tahun
dapat menyimpan uang, cukup untuk membeli dua ekor kerbau. Pikiran ini menarik
baginya. Dengan langkah yang gagah seperti langkah orang yang besar
cita-citanya, ia masuk ke rumah Adinda sesudah keberangkatan ayahnya, dan
kepada Adinda ia menceritakan rencananya.
“Bayangkan, katanya, jika aku kembali, kita sudah cukup umur untuk kawin. Dan
kita akan memiliki dua ekor kerbau !”. “Baik sekali, Saijah. Aku ingin kawin
dengan kau jika kau telah kembali. Aku akan memintal, dan menenun sarung dan
selendang, dan aku akan membatik, dan bekerja rajin sekali selama itu”.
“O, aku percaya Adinda, tapi… bagaimana jika
aku kembali dan kau telah kawin?”
“Saijah, kau tahu bahwa aku tidak akan kawin
dengan orang lain; ayahku telah berjanji dengan ayahmu mengenai diriku.”
“Dan kau sendiri?”
“Aku akan kawin dengan kau, percayalah.”
“Bila aku pulang, aku akan berseru dari
jauh…”
“Siapa akan mendengarmu jika kami sedang
menumbuk padi di desa?”
“Benar juga, … tapi, Adinda, … o ya aku
mendapat pikiran yang lebih baik; …
tunggulah aku di hutan jati, di bawah ketapang di mana kau memberiku kembang
melati.”
“Tapi Saijah, bagaimana aku tahu bila aku
harus pergi menunggumu di bawah ketapang?”
Saijah berpikir sejenak, lalu berkata:
“Hitunglah jumlah bulan. Aku akan pergi tiga
kali dua belas bulan, … bulan ini tidak terhitung; … lihat, Adinda, buatlah
garis pada lesungmu pada tiap bulan baru. Sesudah cukup tiga kali dua belas
garis, sehari sesudah itu aku akan dating di bawah ketapang; … berjanjilah
bahwa kau akan menungguku di sana.”
“Ya, Saijah, aku akan menunggu di bawah
ketapang di hutan jati jika kau kembali.”
Lalu Saijah menyobek secarik dari ikat
kepalanya yang biru, ikat kepalanya yang lusuh, dan diberikannya kepada Adinda
agar disimpannya sebagai petaruh; lalu iapun meninggalkannya, dan meninggalkan
Badur.
Berhari-hari ia berjalan. DIlewatinya
Rangkas Betung yang beum lagi menjadi ibukota Lebak, dan Warung Gunung di mana
tinggal asisten residen, dan keesokan harinya ia tiba di Pandeglang yang
letaknya seperti di dalam taman. Sehari lagi kemudian ia tiba di Serang dan
kagum melihat keindahan kota yang begitu besar dengan banyak rumah-rumah yang
terbuat dari batu, atapnya dari genteng merah. Saijah belum pernah melihat yang
seperti itu. Di situ ia tinggal sehari karena letihnya, tapi malam hari dalam
udara yang sejuk ia meneruskan perjalanan dan tiba di Tangerang keesokan
harinya sebelum bayangan turun sempai ke bibirnya, meskipun ia memakai tudung
besar peninggalan ayahnya.
Di Tangerang ia mandi di sungai dekat
penyebrangan, dan ia istirahat di rumah kenalan ayahnya yang mengajari dia
bagaimana menganyam topi jerami, seperti yang didatangkan dari Manila. Sehari ia
tinggal di sana untuk mempelajarinya. Sebab pikirnya, mungkin ia kemudian dapat
mencari wang dengan kepandaiannya itu, jika sekiranya ia tidak berhasil di
Betawi. Keesokan harinya menjelang malam ketika udara mulai sejuk, ia
mengucapkan banyak terima kasih kepada orang yang menjamunya, dan melanjutkan
perjalanan. Ketika sudah gelap sekali, supaya tidak kelihatan oleh siapa-siapa,
dikeluarkannya daun tempat ia menyimpan melati yang diberikan Adinda kepadanya
di bawah pohon ketapang, sebab ia merasa sedih bahwa ia tidak akan melihatnya
dalam waktu sekian lama. Hari yang pertama, dan demikian pula hari yang kedua,
ia tidak begitu merasakan betapa ia hidup sebatang kara, karena jiwanya
seluruhnya dipenuhi oleh pikiran yang besar akan mencari wang untuk membeli dua
ekor kerbau; bukankah ayahnya sendiri tidak pernah memiliki lebih dari seekor?
Dan pikirannya terlalu tertuju kepada pertemuan kembali dengan Adinda, sehingga
tidak ada tempat untuk bersedih hati atas perceraian itu. Waktu berpisah ia
penuh harapan, dan dalam pikirannya ia mengaitkan perpisahan itu kepada saat
pertemuan kembali di bawah ketapang. Sebab begitu besar peranan harapan bertemu
kembali dalam hatinya, sehingga ketika meninggalkan Badur, ia merasa girang
dalam dirinya ketika melewati pohon itu, seolah-olah waktu yang tiga puluh enam
bulan itu sudah silam, waktu yang memisahkannya dari saat itu. Rasanya
seolah-olah ia hanya perlu berbalik, seolah-olah ia sudah kembali dari
perjalanan, untuk melihat Adinda, yang menunggunya di bawah pohon itu.
Tapi semakin jauh ia berjalan dar Badur,
semakin panjang rasanya waktu sehari, semakin panjang dirasanya waktu tiga
puluh enam bulan yang masih harus dijalaninya. Ada sesuatu dalam jiwanya yang
membuat ia melangkah tidak begitu cepat, … ia merasakan dukacita pada lututnya;
dan meskipun bukan putus asa apa yang dirasakannya, namun itu adalah kerawanan
yang tidak jauh dari putus asa. Ia teringat akan kembali, tapi apa kata Adinda
jika hatinya sekecil itu?
Karena itu ia berjalan terus meskipun tidak
begitu cepat seperti hari yang pertama. Melati di tangannya berkali-kali
dibawanya ke dadanya. Ia sudah menjadi lebih tua dalam tiga hari itu, dan ia
tidak mengerti lagi betapa tenang ia hidup dahulu, ketika Adinda begitu dekat
kepadanya dan ia dapat melihatnya setiap kali ia mau. Sebab sekarang ia tidak
akan tenang sekiranya ia boleh mengharapkan bahwa Adinda tiba-tiba berdiri di
depannya. Dan juga ia tidak mengerti mengapa ia sesudah berpisah tidak berbalik
sekali lagi untuk menatap Adinda sekali lagi. Malahan ia teringat bagaimana
belum lama berselang ia bertengkar dengannya mengenai tali yang dipintalnya
untuk layangan adik-adiknya; tali itu putus karena ada kesalahan dalam
pintalannya, sehingga mereka kalah dalam pertandingan melawan anak-anak dari
Cipurut. “Bagaimana mungkin, pikirnya, untuk marah kepada Adinda karena itu?
Sebab meskipun ada kesalahan dalam pintalan talinya, dan meskipun Badur kalah
dalam pertandingan melawan Cipurut karena kesalahan itu, dan bukan karena
beling yang dilemparkan oleh si Jamin kecil yang bersembunyi di belakang pagar,
malahan pun dalam hal itu, bolehkah aku bersikap keras terhadapnya, dan
menyebutnya dengan nama-nama yang tak pantas? Bagaimana kalau aku mati di
Betawi tanpa meminta maaf atas kekasaran seperti itu? Bukankah aku seperti manusia
durjana yang memaki-maki seorang gadis? Dan tidakkah, apabila orang mendengar
bahwa aku mati di negeri asing, tiap orang di Badur mengatakan: “syukurlah
Saijah mat, sebab ia kurang ajar kepada Adinda?”
Demikianlah jalan pikirannya, lain sekali
dari ketika ia dalam keadaan kesal tempohari; pikirannya itu dengan tidak
setahunya mencari jalan ke luar, mula-mula dengan kata-kata tak lengkap
digumam, kemudan dengan kata-kata kepada diri sendiri, dan kemudian menjadi
nyanyian sedih dan pilu yang saya turunkan di sini terjemahannya. Mula-mula
saya hendak memasukkan mantra dan rima dalam terjemahan itu, tapi seperti
Haelaar, sayapun merasa lebih baik jangan mengikat diri kepada kerangka yang
kaku itu.
Aku tak tahu di mana aku akan mati
Aku melihat samudera luas di pantai selatan ketika datang
Ke sana dengan ayahku, untuk membuat garam ;
Bila ku mati di tengah lautan, dan tubuhku dilempar ke air dalam,
Ikan hiu berebutan datang ;
Berenang mengelilingi mayatku, dan bertanya : “siapa antara kita
akan melulur tubuh yang turun nun di dalam air ?”-
Aku tak akan mendengarnya.
Aku tak tahu di mana aku akan mati
Kulihat terbakar rumah Pak Ansu, dibakarnya sendiri karena
ia mata gelap ;
Bila ku mati dalam rumah sedang terbakar, kepingan-kepingan
kayu berpijar jatuh menimpa mayatku ;
Dan di luar rumah orang-orang berteriak melemparkan air pemadam api ; -
Aku takkan mendengarnya.
Aku tak tahu dimana aku kan mati
Kulihat Si Unah kecil jatuh dari pohon kelapa, waktu memetik
kelapa untuk ibunya ;
Bila aku jatuh dari pohon kelapa, mayatku terkapar di kakinya,
di dalam semak, seperti Si Unah ;
Maka ibuku tidak kan menangis, sebab ia sudah tiada. Tapi
orang lain akan berseru : “Lihat Saijah di sana !”
Aku takkan mendengarnya.
Aku tak tahu di mana aku kan mati
Kulihat mayat Pak Lisu, yang mati karena tuanya, sebab rambutnya
sudah putih ;
Bila aku mati karena tua, berambut putih, perempuan meratap
sekeliling mayatku ;
Dan mereka akan menangis keras-keras, seperti perempuan-perempuan menangisi
mayat pak lisu ; dan juga cucu-cucunya akan menangis, keras sekali ; -
Aku takkan mendengarnya.
Aku tak tahu di mana aku kan mati.
Banyak orang mati kulihat di badur. Mereka dikafani, dan ditanam di dalam tanah
;
Bila aku mati di badur, dan aku ditanam di luar desa, arah ke timur di kaki
bukit dengan rumputnya yang tinggi ;
Maka adinda akan lewat di sana, tepi sarungnya perlahan mengingsut mendesir
rumput, …….
Aku akan mendengarnya..
Saijah tiba di Betawi. Ia meminta pekerjaan
pada seorang tuang, dan tuan itu segera menerimanya karena ia tidak mengerti
Saijah, dan di Betawi orang suka menerima bujang yang belum pandai bahasa
Melayu, jadi belum rusak seperti yang lain yang sudah lebih lama bergaul dengan
orang Eropah. Saijah cepat belajar bahasa Melayu, tapi ia selalu baik dan berhati-hati,
sebab ia senantiasa teringat kepada dua ekor kerbau yang akan dibelinya, dan
kepada Adinda. Tubuhnya menjadi besar dan kuat, sebab ia makan setiap hari, hal
mana tidak selalu bisa dilakukannya di Badur. Di kandang kuda ia disukai, dan
pastilah ia tidak akan ditolak jika melamar anak gadis pak kusir. Tiannya
sendiri senang sekali kepada Saijah, sehingga ia cepat diangkat jadi jongos.
Gajinya dinaikkan, dan selain itu ia selalu mendapat hadiah karena pekerjaannya
yang sangat memuaskan. Nyonya pernah membaca roman Sue yang sangat menghebohkan
sebentar, … ia selalu teringat pangeran Jalma apabila ia melihat Saijah, dan
juga anak-anak gadisnya lebih mengerti dari dahulu bagaimana pelukis bangsa
Jawa Raden Saleh mendapat pujian yang tinggi di Paris.
Tapi mereka menganggap Saijah tidak tahu
berterima kasih ketika ia sesudah hampir tiga tahun bekerja, minta berhenti dan
meminta surat eterangan bahwa ia selalu berkelakuan baik. Tapi mereka
meluluskan juga permintaannya itu, dan Saijah memulai perjalanannya dengan hati
yang girang.
Di berjalan melewati Pesing, di mana
Havelaar pernah tinggal, dahulu sekali. Tapi Saijah tidak mengetahui hal ini; …
dan sekalipun ia mengetahuinya, ada hal-hal lain yang dipikirkannya… Ia
menghitung-hitung harta bendanya yang dibawakannya… Ia menghiung-hitung harta
bendanya yang dibawanya pulang. Di dalam tabung bambu disimpannya surat
jalannya dan surat keterangan berkelakuan baik. Di dalam sebuah bumbung yang
diikat dengan tali kulit, Nampak sesuatu yang berat selalu bergoyang-goyang
mengenai bahunya, tapi ia senang merasakannya,… percayalah! … di dalamnya ada
sejumlah tiga puluh mata wang Spanyol, cukup untuk membeli tiga ekor kerbau!
Apa kata Adinda! Dan ini belum semuanya lagi. Dipunggungnya nampak keris yang
ditaruhnya diikat pinggang, sarungnya bersalut perak. Gagangnya tentulah dari
kemuning yang diukir halus, sebab benda itu dengan hati-hati dibungkusnya
dengan kain sutera. Dan banyak lagi harta kekayaannya! Di dalam ikatan kain di
pinggangnya, disimpannya sebuah ikat pinggang rantai dari perak, pendingnya
dari emas. Memang ikat pinggang itu agak pendek, tapi dia begitu ramping, …
Adinda.
Dan pada tali di lehernya, di bawah baju
luarnya, tergantung sebuah kocek sutera, dengan beberapa kembang melati yang
sudah kering.
Tidaklah mengherankan bila di Tangerang ia
berhenti seperlunya saja untuk mengunjungi kenalan ayahnya yang begitu pandai
menganyam topi yang bagus. Tidaklah mengherankan bila ia seperlunya saja
menjawab gadis-gadis yang bertemu olehnya di jalan, yang bertanya: “ke mana?
Dari mana?”, tegor sapa yang lazim di daerah itu. TIdaklah mengherankan bila ia
menganggap Serang tidak begitu indah lagi, ia yang telah mengenal Betawi. Ia
tidak lagi bersembunyi di belakang pagar, seperti dilakukannya tiga tahun yang
lalu, ketika ia melihat tuan residen naik kereta, ia yang telah melihat tuan
yang lebih besar yang tinggal di Bogor dan enjadi datuk Susuhunan-susuhunan di
Solo. Tidaklah mengherankan bila ia tidak memperhatikan cerita-cerita orang
yang berjalan beberapa jauh bersamanya dan berbicara tentang berita di Banten
Kidul : - “bahwa penanaman kopi dibatalkan sama sekali sesudah banyak kepala
distrik Parangkujang karena merampas di jalan umum dijatuhi hukuman tahanan
empat belas hari d rumah mertuanya ; - betapa ibukota telah dipindahkan ke
Rangkas-Betung ; - betapa telah datang di sana seorang asisten residen baru,
sebab yang sebelumnya telah meninggal dunia beberapa bulan yang lalu ; - betapa
pejabat baru itu telah berbicara pada rapat sebah yang pertama ; - betapa sudah
beberapa waktu tidak ada orang yang dihukum karena pengaduan ; - betapa hidup
harapan dikalangan rakyat supaya barang yang dicuri dikembalikan atau
dibayarkan ganti kerugiannya.”
Tidak, di mata semangatnya nampak
gambaran-gambaran yang lebih indah. Dicarinya pohon ketapang di awan gemawan,
terlalu jauh masih ia untuk mencarinya di Badur. Ia memeluk udara sekitarnya,
seolah-olah ia hendak merangkul tubuh yang akan menunggunya di bawah pohon itu.
Dibayangkannya wajah Adinda, kepalanya, bahunya ; dilihatnya kondenya yang
besar, hitam gemerlap, terperangkap dalam jeratnya sendiri, bergantung pada
lehernya ; dilihatnya matanya yang besar berkilau dalam pantulan yang hitam ;
cuping gidungnya yang diangkatnya dengan perkasa sebagai anak kecil, ketika ia,
- betapa mungkin! – mengganggunya, dan sudut bibirnya yang menyimpan senyumnya
; dilihatnya buah dadanya yang kini tentunya menonjol di bawah kebayanya ;
dilihatnya betapa sarung yang ditenunnya sendiri, memeluk ketat pinggangnya
dan, mengikuti lengkungan pahanya, turun melalui lututnya mengalun indah di
atas kakinya alit…
Tidak, ia tidak banyak mendengar apa yang
dikatakan orang kepadanya. Yang didengarnya ialah nada-nada yang lain ;
didengarnya bagaimana Adinda akan berkata : “Selamat dating, Saijah! Aku
teringat kepadamu waktu memintal dan wakt menenun, dan waktu menumbuk padi
dalam lesung yang bergaris tiga kali dua belas garis buatan tanganku. Ini aku
di bawah ketapang, hari pertama bulan yang baru. Selamat dating, Saijah, aku
mau jadi isterimu.”
Itulah music yang bergema di telinganya,
sehingga ia tidak mendengar segala berita yang disampaikan orang dalam
perjalannya.
Akhirnya nampak olehnya pohon ketapang. Atau
lebih tepat, dilihatnya suatu tempat yang besar dan gelap yang menutup
bintang-bintang banyak dari pemandangannya. Itu mesitnya hutan jati dekat pohon
di mana ia akan bertemu dengan Adinda keesokan harinya sesudah terbitnya
matahari. Ia mencari dalam gelap dan meraba-raba banyak batang pohon. Tidak
lama kemudian ia menemukan sebatang pohon, pada kulitnya sebelah Selatan ada
bekas tetakan yang dikenalnya ; diletakkannya jarinya dalam alut yang dibuat
oleh Si Panteh dahulu dengan parangnya untuk menyerapahi pontianak yang
menybabkan ibunya sakit gigi, tidak lama sebelum adik Si Panteh lahir. Itulah
ketapang yang dicarinya.
Ya, inilah tempat di mana ia buat pertama
kali memandangi Adinda dengan cara lain dari teman sepermainannya yang lain,
sebab Adinda buat pertama kali di tempat itu menolah turut serta dalam suatu
permainan, yang sebenarnya, tidak lama sebelumnya diikutinya dengan semua
anak-anak, - laki-laki dan perempuan. Di situlah Adinda memberinya kembang
melati.
Ia duduk di kaki pohon itu, dan memandang ke
atas, ke bintang-bintang, dan bila ada yang beralih, dianggapnya itu sebagai
ucapan selamatdatang bahwa ia telah kembali di Badur.
Dan ia berpikirr apakah sekarang Adinda
sedang tidur, dan apakah ia tidak salah menandai bulan pada lesungnya? Saijah
akan berdukacita, jika Adinda sampai kelupaan menandai sebulan, seolah-olah
tidak cukup… jumlah tiga puluh enam bulan! Dan apakah ia membatik sarung dan
selendang yang kini tinggal di rumah ayahnya? Dan terbayng masa mudanya, dan
ibunya, dan betapa kerbau itu menyelamatkannya dari terkaman harimau, dan
terpikir olehnya apa akan jadinya dengan Adinda jika kerbau itu tidak begitu
setia?
Diperhatikannya benar turunnya
bintang-bintang di Barat dan setiap kali sebuah bintang menghilang di kaki
langit, ia menghitung bahwa matahari sudah lebih dekat lagi sedikit mendekati
saat terbitnya di ufuk Timur, dan betapa tambah dekat ia sendiri kepada saat
bertemu kembali dengan Adinda.
Sebab pastilah ia akan kembali pada cahaya
matahari yang pertama, ya, dia sudah akan ada di sana ketika fajar, … ah,
mengapa ia tidak datang kemarin?
Saijah merasa sedih bahwa Adinda tidak
mendahului saat yang indah yang tiga tahun lamanya menyuluhi jiwanya dengan
cahaya yang tidak terlukiskan ; dalam cintanya Saijah hanya ingat akan
kepentingan dirinya, dan ia menjadi tidak adil ; menurut dia seharusnya Adinda
sudah berada di sana, menunggu da, dia yang kini mengeluh, - sebelum waktunya,
- bahwa ia harus menunggu Adinda!
Dan tidak sepatutnya ia mengeluh, sebab
matahari belum lagi terbit, … belum lagi matahari melepaskan pandangnya ke atas
dataran. Memang bintang-bintang nun di atas menjadi pucat, malu bahwa segera
berakhir kekuasaannya ; memang mengalir warna-warna yang garib di puncak-puncak
gunung, yang nampak lebih gelap semakin tajam timbul sosoknya berlatar-belakang
cahaya terang ; memang di sana sini sesuatu yang berpijar melayang melintasi
awan di sebelah Timur, - panah-panah emas dan api yang ditembakkan bolak-balik,
sejajar dengan kaki langit, - tapi menghilang lagi dan nampaknya jatuh di
belakang tirai yang penuh rahasia, tirai yang menjauhkan siang dari pandangan
mata Saijah.
Namun cuaca makin terang dan makin terang
sekitarnya, … sudah dilihatnya tamasya alam, dan sudah dapat dibedakannya
Gombak gugus kelapa di mana Badur tersembunyi dari pandangan mata, … di situlah
Adinda terbaring tidur.
Tidak, dia tidak tidur lagi ; bagaimana
mungkin ia tidur? … Tidakkah ia tahu bahwa Saijah akan menantinya? … Dia tidak
tidur semalam-malaman ; pasti jaga kampong mengetuk pintunya dan menanyakan
mengapa pelita masih menyala dalam rumahnya, dan dengan tersenyum manis ia
menjawab bahwa ia tak dapat tidur karena berjanji akan menyelesaikan selendang
yang sedang ditenunnya ; selendang itu harus selesai sebelum hari pertama bulan
baru …
Atau malam itu ia bergadang di tempat gelap,
duduk di atas lesung, dan menghitung dengan jari dan hati mendamba sudahkah
sungguh-sungguh berderet tiga puluh enam garis yang dalam. Dan hatinya gembira
terkejut dalam kecekatannya jangan-jangan ia salah hitung, jangan-jangan masih
kurang satu, dan sekali lagi dan sekali lagi, dan setiap kali a menikmati kepastian
yang menyenangkan bahwa sungguh-sungguh telah lewat tiga kali dua belas bulan
sejak ia berpisah dengan Saijah…
Diapun tentunya sekarang ini, sesudah cuaca
seterang ini, memasang matanya sia-sia, melemparkan pandangnya ke balik tepi
langit, untuk menemui matahari, matahari yang lamban, yang tidak juga terbit,
… tidak juga terbit …
Nampak garis merah kebiru-biruan yang
berpaut pada awan, dan tepi-tepi awan itu menjadi terang dan berpijar, dan
mulai berkilat ; dan kembali melayang panah-panah api di ruang angkasa, tapi
sekali ini tidak jatuh ke bawah ; mereka menjerait di tanah yang gelap,
bahangnya meluas dalam lingkaran yang tambah lama tambah luas, dan saling
bertemu, silang menyilang, memutar, eredar, dan bersatu menjadi berkas-berkas
api dan berkila dengan cahaya keemasan di atas tanah biru muda, … semuanya itu
warnanya merah, dan biru, dan keperak-perakan, dan lembayung dan kuning, dan
keemasan, … ya Tuhan, itulah fajar, itulah pertemuan kembali dengan Adinda! …
Saijah tidak pernah belajar mendoa, dan
memang sayang kalau itu diajarkan kepadanya ; sebab doa yang lebih suci dan
syukur yang lebih membara dari yang mengendap diam dalam jiwanya gembira, tidak
dapat diungkapkan dalam bahasa manusia.
Ia tidak mau pergi ke Badur. Saat pertemuan
itu sendiri dengan Adinda dirasanya tidak begitu indah seperti kepastian bahwa
ia akan bertemu dengannya. Ia duduk di bawah pohon ketapang dan diedarkannya
pandangnya sekitar wilajah. Alam seolah tersenyum kepadanya, dan mengucapkan
selamat datang seperti seorang ibu menyambut anaknya yang baru pulang ; dan
seperti juga si ibu melukiskan kegembiraannya dengan menimbulkan sendiri
kenang-kenangan kepada dukacita yang lampau, pada waktu menunjukkan apa yang
disimpannya sebagai tanda mata selama kepergian anaknya, Saijah pun
menggembirakan hati dengan melihat kembali sekian banyak tempat-tempat yang
menjadi saksi kehidupannya yang singkat. Tapi betapapun matanya ataupun
pikirannya menggembara, setiap kali pandangnya dan hasratnya kembali ke jalan
yang menghubungkan Badur dengan pohon ketapang itu. Segala yang dirasakan dan
dilihat oleh pancainderanya bernama Adinda …. Dilihatnya jurang sebelah kiri
dengan tanah yang begitu kuning, di mana pernah seekor kerbau yang masih muda
jatuh ke dalam lubang; orang kampong berkumpul di situ untuk menolong binatang
itu, - sebab bukan perkara kecil kehilangan seekor kerbau muda, - mereka turun
dengan tali rotan yang kuat, dan ayah Adinda adalah yang paling berani, … o,
betapa keras ia bertepuk tangan … Adinda!
Dan nun di sana di sebalik gugusan pohon
kelapa yang daunnya melambai-lambai di atas pondok-pondok desa, di salah satu
tempat itu Si Unah jatuh dari pohon dan mati. Alangkah sedih ibunya menangis ;
“sebab Si Unah masih begitu kecil”, ratapnya… seolah-olah ia tidak akan begitu
sedih sekiranya Si Unah sudah lebih besar. Tapi ia keicl, memang benar, sebab
ia leih kecil dan lebih lemah dari Adinda…
Tidak nampak seorangpun di jalan yang
menghubungkan Badur dengan pohon itu. Nanti ia datang ; …hari masih terlalu
pagi.
Saijah melihat bajing yang melompat kian
kemari dengan cepat dan keracak pada batang pohon kelapa. Binatang yang molek
itu, - ditakuti oleh pemilik kelapa, namun molek tubuh dan gerak-geriknya, -
naik dan turun tak jemu-jemunya. Saijah melihatnya, dan dipaksanya dirinya untuk
terus melihatnya, sebab dengan demikian pikirannya menjadi tenang, sesudah
berat bekerja sejak matahari terbit, - tenang sesudah letih menunggu. Tidak
lama kemudian kesan-kesannya menyatakan diri dalam kata-kata, dan iapun
menyanyikan apa yang bergolak dalam jiwanya. Saya lebih suka membacakan
nyanyian dalam bahasa Melayu, bahasa Itali di Timur itu.
Lihatlah betapa bajing mencari
makan
Di pohon kelapa. Ia naik, ia
turun, ia mengeracak kiri dan kanan
Ia berlari (mengitari pohon),
melompat, jatuh, memanjat dan jatuh lagi
Sayap ia tak punya namun ia
cergas seperti burung.
Selamatlah bajingku, selamatlah
Pasti kau menemukan makan yang
kau cari…
Tapi aku seorang diri duduk di
hutan jati
Menunggu makanan bagi hatiku.
Sudah lama bajingku kenyang
Sudah lama ia kembali ke sarang
Tapi masih juga jiwaku
Dan hatiku sangan berdukacita…
Adinda!
Belum juga ada orang di jalan yang
menghubungkan Badur dengan pohon ketapang…
Maka Saijah terpandang rama-rama yang
agaknya bergembira karena hari mulai panas…
Lihatlah nun rama-rama keliling
mengepak sayak
Sayapnya berkilau laksana kembang
aneka warna
Hatinya cinta berahikan bunga
kenari
Pastilah ia mencari, mencari
kekasih yang harum wangi.
Selamatlah ramaku, selamatlah
Pastilah kau menemu apa dicari
Tapi aku duduk seorang diri di
hutan jati
Menunggu kekasih idaman hati
Sudah lama-lama mengecup
Kembang kenari yang sangat ia
cintai
Tapi masih jiwaku
Dan hatiku alangkah berdukacita…
Adinda!
Dan belum ada juga orang di jalan yang
menghubungkan Badur dengan pohon ketapang.
Matahari sudah meninggi ; - udara sudah
panas.
Lihatlah betapa matahari bersinar
nun di atas
Jauh di atas bukit Waringi
Terlalu panas ia merasa dan ingin
turun ke bumi
Tidur di dasar laut seperti
rangkulan seorang suami
Selamatlah o matahari, selamatlah
Pasti kau menemu apa dicari
Tapi aku seorang diri di hutan
jati
Menunggu hatiku menjadi tenang.
Sudah lama nanti matahari turun
Dan tidur di dalam laut, jika
segala telah kelam
Tapi masih jiwaku
Dan hatiku alangkah berdukacita…
Adinda
Dan tidak ada orang di jalan yang
menghubungkan Badur dengan pohon ketapang.
Jika tiada lagi rama-rama terbang
keliling mengepak sayap
Jika bintang tiada lagi
berkilauan
Jika tiada lagi hati berduka
Tiada lagi binatang liar di dalam
hutan
Jika matahari kesasar jalan
Dan bulan lupa mana Timur mana
Barat
Jika waktu itu belum juga datang
Adinda
Maka turunlah malaikat dengan
sayap kemilau
Ke atas bumi mencari apa yang
tinggal
Maka mayatku terkapar di sini di
bawah ketapang
Jiwaku alangkah berdukacita…
Adinda!
Tidak ada orang di jalan yang menghubungkan
Badur dengan pohon ketapang.
Maka malaikat melihat mayatku
Diberitahunya saudara-saudaranya,
ditunjuknya mayatku dengan jarinya
“Lihatlah, nun di sana ada
seorang manusia mati terlupa
Mulutnya kejang mencium kembang
melati
Marilah, kita angkat dia kita
bawa ke surge
Orang yang menunggu Adinda sampai
mati
Sungguh, ia tak boleh tinggal
sendiri
Orang yang hatinya begitu keras
mencinta”
Maka sekali lagi mulutku kejang
akan membuka
Untuk memanggil Adinda yang
kucinta
Sekali lagi kukecup melati
Yang dia berikan… Adinda… Adinda!
Dan masih jiga tidak ada orang di jalan yang
menghubungkan Badur dengan ketapang.
O, pastilah ia tertidur menjelang pagi,
kelelahan karena bergadang sepanjang malam, karena bergadang bermalam-malam
terus menerus, … ia tidak tidur sudah berminggu-minggu, … demikian adanya!
Apakah ia akan berdiri dan berjalan ke
Badur? … Tidak, jika demikian seolah-olah ia ragukan kedatangannya…
Bagaimana kalau dipanggilanya orang di sana
yang menggiring kerbaunya ke ladang? … Orang itu terlalu jauh, dan lagi, Saijah
tidak mau bicara tentang Adinda, tidak mau menanyakan tentang Adinda, … ia mau
bertemu dengannya, melihatnya kembali, ia ingin melihat Adinda sendiri, melihat
Adinda lebih dulu. O, tentu, tentulah ia segera datang.
Ia akan menunggu, menunggu…
Tapi kalau dia sakit, atau … mati?
Seperti rusa kena panah Saijah berlari
melalui jalan dari pohon ketapang menuju desa tempat Adinda tinggal. Dia tidak
melihat apa-apa dan tidak mendengar apa-apa, meskipun ia dapat mendengar apa-apa,
sebab ada orang berdiri di pinggir jalan dekat pintu masuk ke dalam desa yang
berteriak : “Saijah, Saijah!”
Tapi, … apakah karena ia tergesa-gesa,
karena nafsunya, maka ia tak dapat menemukan rumah Adinda? Ia sudah berlari
sampai ke ujung jalan di batas kampong, dan seperti gila ia berjalan kembali
dan memukul-mukul kepalanya, betapa mungkin ia melewati rumah Adinda tanpa
melihatnya. Tapi kembali ia berdiri di pintu gerbang masuk, … ya Tuhan, apakah
ia bermimpi? … sekali lagi ia tidak menemukan rumah Adinda. Sekali lagi ia
berlari kembali dan tiba-tiba ia berhenti, dipegangnya kepalanya dengan kedua
tangannya seolah-olah hendak memeras ke luar pikiran tak waras yang
merasukinya, dan ia berteriak keras-keras; “mabuk, mabuk, aku mabuk!”
Dan perempuan-perempuan Badur ke luar dari
rumahnya, dan dengan kasihan melihat Saijah berdiri di jalan ; sebab mereka
mengenalinya dan mereka tahu bahwa ia mencari rumah Adinda, dan mereka tahu
tidak ada rumah Adinda di desa Badur.
Sebab ketika kepala distrik Parangkujang
merampas kerbau-kerbau ayah Adinda…
Sudah saya katakan, pembaca budiman, bahwa
cerita saya menjemukan.
…ketika itu bu Adinda meninggal karena
sedihnya, dan adiknya yang bungsu meninggal karena tidak ada ibu yang
menyusuinya. Dan ayah Adinda yang ketakutan mendapat hukuman jika tidak
membayar pajak tanah…
Saya tahu, saya tahu bahwa cerita saja
menjemukan.
…ia pergi meninggalkan kampong halaman.
Dibawanya Adinda dengan saudara-saudaranya. Tapi ia mendengar betapa ayah
Saijah dihukum di Bogor dengan deraan rotan, karena meninggalkan Badur tanpa
surat jalan. Karena itulah ayah Adinda tidak pergi menuju Bogor, tidak ke
Krawang, tidak ke Priangan, tidak pula ke Betawi…
Ia pergi ke Cilangkahan, distrik Lebak yang
berbatasan dengan laut, di sanalah ia bersembunyi di dalam hutan, dan menunggu
kedatangan Pak Ento, Pak Lontah, Si Uniah, Pak Ansiu, Abdul Isma dan beberapa
orang lagi yang kerbaunya dirampas oleh kepala distrik Parangkujang, dan yang
semuanya takut kena hukuman jika mereka tidak membayar pajak tanah.
Di sana pada malam hari mereka mencuri
sebuah perahu nelayan dan berlayar meninggalkan pantai. Mereka menuju ke
Baratlaut, pantai di sebelah kanannya, sampai ke Tanjung Jawa di Ujung Kulon ;
dari sana mereka berlayar menuju ke Utara sampai Panaitan yang disebut pelaut
kulit putih Prinseneiland. Mereka mengitari pulau itu di sebelah Timur dan
kemudian menuju Teluk Semangka, menghala puncak gunung yang tinggi di Lampung.
Demikianlah jalan yang dibisikkan orang dari
mulut ke mulut di Lebak, jalan yang ditempuh bila orang bicara tentang
perampasan erbau dan pajak tanah yang belum dibayar.
Tapi Saijah tidak mengerti benar apa yang
dikatakan orang kepadanya, malahan ia tidak mengerti benar berita tentang
kematian ayahnya. Telinganya mendengung seolah-olah dipukul gongdalam
kepalanya, dirasanya betapa darah mendenyut-denyut dalam urat-urat pelipisnya
yang serasa-rasa hendak pecah di bawah tekanan pemekaran yang begitu berat. Ia
tidak berkata-kata dan memandang keliling dengan mata kehilangan cahaya, tidak
melihat apa yang ada sekitarnya dan dekatnya, dan akhirnya ia meledak dalam
tawa yang mengerikan.
Seorang perempuan tua membawanya ke rumahnya
dan mengobati orang gila yang malang itu. Tidak lama kemudian ia tidak lagi
tertawa begitu mengerikan, namun ia tidak bicara. Hanya malam hari orang-orang
sepondok terkejut oleh suaranya bila ia menyanyi tanpa nada : “tidak ku tahu di
mana aku kan mati”, dan beberapa orang penduduk Badur mengumpulkan uang untuk
memberi sajen kepada buaya-buaya di CIujung, supaya Saijah menjadi sembuh,
Saijah yang dianggap gila. Tapi ia tidak gila.
Sebab sekali malam hari ketika bulan
bersinar cerah ia berdiri dari bale-balenya dan perlahan-lahan meninggalkan
rumah dan mencari tempat di mana pernah Adinda berdiam. Ini bukan pekerjaan yang
mudah sebab banyak rumah yang telah roboh, tapi nampaknya ia mengenali tempat
itu pada besarnya sudut yang dibuat oleh beberapa garis melalui pohonan pada
waktu bertemu dalam matanya, seperti seorang pelaut menentukan posisi pada
menara api atau pada tempat-tempat yang menjulur di gunung.
Ya, di situlah mestinya rumahnya… di situ
pernah Adinda tinggal!
Tersaruk-saruk pada bambu setengah lapuk dan
kepingan-kepingan atap yang runtuh ia mencari jalan ke tempat keramat yang
dicarinya. Dan, sungguh, ia masih menemukan kembali sebagian dari pagar yang
masih berdiri, di samping pagar itulah lalu berada bale-bale Adinda ; bahkan di
pagar itu masih terpancang pasak bambu tempat menggantungkan pakaiannya bila
hendak tidur…
Tapi, bale-bale itu telah runtuh seperti
juga rumah itu dan hampir kembali menjadi debu. Diambilnya segenggam debu, dan
didekatkannya kebibirnya yang terbuka, dna ia menarik nafas dalam-dalam…
Keesokan harinya ia bertanya pada orang tua
yang merawatnya, di manakah lesung yang dulu terletak di pekarangan rumah
Adinda. Perempuan itu girang mendengar ia bicara dan berjalan sekeliling desa
untuk mencari lesung itu. Ketika ia menemukan pemiliknya yang baru dan hendak
menunjukkannya kepada Saijah, Saijah mengikutinya tanpa berkata sepatah kata,
dan ketika tiba di lesung itu, dihitungnya ada tiga puluh dua garis tergores di
situ…
Lalu diberinya perempuan itu sekian mata
wang Spanyol, cukup untuk membeli seekor kerbau, dan meninggalkan Badur. Di
Cilangkahan dibelinya sebuah perahu nelayan, dan dengan perahu itu sesudah
beberapa hari berlayar ia tiba di Lampung, di mana pemberontak sedang melawan
kekuasaan Belanda. Ia bergabung dengan segerombolan orang Banten, bukan untuk
berempur tapi untuk mencari Adinda ; sebab sifatnya lembut, dan lebih mudah
terharu oleh kesedihan dari tergugah oleh kepahitan.
Pada suatu hari ketika
pemberontak-pemberontak sekali lagi dikalahkan, ia mengembara di dalam desa
yang baru saja direbut oleh tentara Belanda, jadi masih terbakar. Saijah tahu
bahwa gerombolan yang dihancurkan di tempat itu, sebagian besar terdiri dari
orang Banten ; ia berkeliling seperti hantu di rumah-rumah yang belum terbakar
seluruhnya, dan menemukan mayat ayah Adinda dengan luka kena kelewang di dada.
Di sampingnya Saijah melihat ketiga saudara Adinda yang terbunuh,
pemuda-pemuda, anak-anak masih ; dan sedikit lagi ke sana nampak mayat Adinda,
telanjang, teraniaya dengan cara mengerikan…
Ada sepotong kecil kain biru masuk ke dalam
luka yang terbuka di dadanya, yang rupanya mengakhiri pergulatan yang lama…
Lalu Saijah menyongsong beberapa orang
soldadu yang dengan bedil terkokang menghalau sisa-sisa pemberontak yang masih
hidup ke dalam api rumah-rumah yang sedang terbakar ; ia mendekap
bayonet-bayonet pedang yang lebar itu, mendorong ke depan dengan penuh tenaga,
dan masih berhasil mendesak kembali soldadu-soldadu itu dengan tenaga yang
penghabisan, ketika gagang-gagang bayonet tertumbuk pada dadanya.
Dan tidak lama kemudian orang bersorak-sorak
di Betawi atas kemenangan yang baru itu, yang menambahkan pula banyak
kemenangan pada kemenangan-kemenangan tentara Hindia Belanda. Dan wali negeri
pun menulis bahwa keamanan telah dipulihkan kembali di Lampung, dan raja
Belanda, yang diberi penerangan oleh pejabat-pejabat negara, kembali memberi
anugerah ata keberanian dan kepahlawanan yang begitu besar berupa sejumlah
banyak bintang kehormatan.
Dan agaknya doa syukur naik ke langit dari
hati orang-orang yang saleh di gereja hari Minggu atau waktu sembahyang, ketika
mendengar bahwa “Tuhan segala balatentara” telah ikut pula berperang di bawah
panji-panji Belanda…
“Tapi Tuhan, hiba melihat mala petaka
demikian, - Hari itu menolak korban persembahan!” (Tollens)