Saturday, December 29, 2012

MIMPI DI BULAN DESEMBER

Yang kusayang,

Kutahu kamu masih tertidur nyenyak di belahan dunia sana. Tidurlah, bermimpilah. Jika kamu bertemu diriku disana, ajaklah dia berpetualang dalam mimpimu. Sudah lama benar rindu itu bercengkrama disana, di hatinya. 

Kuharap kamu memiliki sedikit waktu untuk membaca surat ini pagi nanti. Kamu tahu, aku sangat suka bertutur kata mengenai apa saja, mulai dari keseharianku sampai teori-teori asal yang kuciptakan dalam rasa bosan. Terkadang kamu hanya bisa mengangguk dalam diam ketika mendengarkanku. Tapi tidak masalah, itulah yang kurindukan dari dirimu. Seorang yang penyayang dan hangat, pendengar yang bijaksana. 

Disini sudah hari Sabtu, dan aku terbangun pada pukul 6 pagi tadi. Terbangun tanpa ada yang membangunkan. Melepaskan pejaman mata dalam suasana kamar yang redup dan sunyi. 

Apa? Mengapa? Aku menata ulang gambar-gambar yang berlalu lalang dalam alam bawah sadar tadi malam. Beberapa bagian telah lenyap bersama dengan hembusan nafas dan dengkuranku. Tapi aku masih menyimpan sisanya sambil bertanya-tanya, "pertanda apakah ini?"

Gaduh sekali suasana tadi malam, meskipun tak ada yang berkata-kata dalam kamarku. Bahkan aku hanya bisa bungkam selagi menengok kiri-kanan, mengejar gambar-gambar yang saling bertubrukan di balik pelupuk mata. 

Segerombolan anak-anak muda berseragam tentara berkeliaran di sepanjang jalan. Seragam mereka berwarna biru samudera, dan nampak dengan jelas sekali butiran-butiran salju yang terjatuh dan melekat pada bahu mereka, tapi tak ada satupun yang menggigil. Mereka semua adalah pemuda-pemudi yang begitu gagah. 

Aku menyaksikan dari balik pilar milik suatu monumen tua yang megah. Disana, aku berdiri bersama anak-anak muda lainnya. Jelas sekali emosi membakar diri mereka, sehingga mereka segera bergegas dan menyiapkan seragam-seragam coklat muda yang terlipat dengan rapi di dalam rak. Dan jangan lupa... senjata api! Sia-sialah kobaran semangatmu tanpa benda itu (yang kini dipertanyakan kegunaan dan keuntungannya). 

"Jangan ikut mereka," seorang wanita muda berusia sekitar 25 tahun menghampiriku dengan cemas. Ia tampak sangat keibuan dan cantik, mungkin merupakan sosok yang sempurna bagimu. "Mari, ikut aku."

Ia membawaku ke suatu kamar, barangkali dulunya merupakan kamar asrama karena aku melihat beberapa tempat tidur putih polos terletak disana. Atau mungkin... sesungguhnya tempat itu adalah pengungsian? 

Tak lama kemudian seluruh benda di kamar itu bergetar hebat. Aku beranjak ke depan jendela dengan langkah yang tertatih-tatih. Kamu pasti bisa membayangkan apa yang kulihat disana. Bola-bola api. Jejak sepatu para pemuda. Darah. Salju yang tadinya nampak putih suci telah diterjang lautan amarah. 

"Mereka tak layak hidup! Hidup bukan untuk mereka!" Seorang pemudi berseragam coklat berseru di atas tumpukan kayu. Kawan-kawannya menyahut dengan serentak. Ia mengeluarkan busur panah dan  tidak segan-segan memanahi para lawannya yang hendak menyerang. Tubuh mereka terhempas di atas salju tanpa daya. Hidup bukan untuk mereka...

Ketika lautan amarah itu telah surut, aku memberanikan diri untuk menyaksikan keadaan di luar. Ya, manusia-manusia tanpa nyawa ada dimana-mana. Di bawah pohon beku, aku melihat 4 sosok anak muda berkuda; dua di antaranya terlihat lebih tua (barangkali seumuran denganmu) dan sisanya nampak masih terlalu muda untuk mengenal maut. Tadinya aku berpikir untuk menguburkan mereka, namun salju sudah terlebih dahulu mengambil alih. Sebelum aku beranjak pergi, pohon beku itu rubuh dan menimpa salah satu anak beserta kudanya, seakan-akan ingin membalas dosanya pada hari itu. Tapi, apakah benar ia telah berdosa?

Itulah kisahku pada saat ini. Kuharap surat ini tidak membuat musim dingin terasa jauh lebih menusuk. Aku tahu kamu masih berbaring dalam lelap di belahan dunia sana. Bermimpilah yang indah. Bila kamu bertemu dengan sosokku disana, ajaklah dia menikmati mimpimu yang tenang itu. Ia butuh liburan dari alam bawah sadar yang rusuh.