Sunday, November 11, 2012

CENDRAWASIH


Sebelum kutuang lebih banyak kata pada sehelai kertas ini, yang kiranya telah mengorbankan hidupnya demi sketsa ataupun rancangan kalimat penuh makna dan pengetahuan, aku ingin memberitahu kalian terlebih dahulu bahwa akal budi itu berasal dari kata-kata bijak, yang dilahirkan dari pikiran seseorang, yang terinspirasi dari apa yang ia lihat ataupun apa yang ia dengar.

Kukira kebanyakan dari kita akan menyusun paling tidak satu kata ketika mereka melihat atau mendengar sesuatu. Kata-kata itu akan menghadapi nasib yang berbeda-beda; beberapa akan disimpan dengan baik di dalam benak para manusia, beberapa akan bertemu dengan rancangan kata-kata lain agar menjadi suatu karya yang penuh hikmah, beberapa akan disimpan dalam kurun waktu tertentu sebelum dilupakan dan hilang, beberapa akan diabaikan begitu saja, bahkan sebelum ia sempat mempelajari ruang pikiran yang terletak di dalam kepala manusia.

Inilah yang kudapatkan setelah melewati belasan tahun hidup dengan telinga yang terus mendengar, mata yang terus melihat, dan pikiran yang tak pernah mau diajak beristirahat. Tapi ujung-ujungnya, sebagian hal yang telah aku pelajari hilang begitu saja, entahlah bagaimana nasib mereka.

Meskipun demikian, tentu aku tidak akan pernah melupakan hal yang satu ini. Aku memanjatkan syukur pada Tuhan karena kiranya aku bisa berhasil mengingat untaian kalimat ini, yang berasal dari suatu gambar, yang berasal dari kampung halamanku, tempat dimana aku menyusun masa kecil dan ilmu pengetahuan moral.

Kampung halamanku ini disimbolisasikan dengan sesosok burung megah nan ayu, yang tak lagi asing bagi masyarakat luas. Masyarakat kita menyebutkannya Cendrawasih, dan orang-orang Barat menjulukinya Paradise Birds yang berarti ‘burung-burung Firdausi’. Nampaknya mereka patut mendapatkan gelar itu, karena ekor-ekor mereka membawa serta berkas-berkas matahari senja, dan bulu-bulu mereka yang berwarna cokelat-tembaga seakan ingin mengingatkan kita akan betapa kaya dan indahnya habitat mereka, meskipun terpencil dan terlupakan.

Namun, terlupakan pun bukan menjadi halangan bagi ancaman-ancaman untuk merenggut keelokan para penghias hutan belantara ini. Dari sinilah aku sadar akan suatu hal mengenai mereka; mereka merupakan cerminan dari hidup itu sendiri. Layaknya hidup, tentu sudah tak ternilai keindahan yang mereka bawa serta ketika merintis pilar-pilar alam yang menaungi kehidupan di dalamnya. Layaknya hidup, mereka dihadiahi sepasang sayap untuk terbang bebas seraya menikmati buaian angin timur di cakrawala. Layaknya hidup, hidup mereka tak juga luput dari bahaya yang kian mengintai. Pada akhirnya, beberapa dari mereka bisa bertahan hidup, beberapa yang lain mati suri di depan senjata berasap, dan sisanya terperangkap dalam kandang yang entah kapan akan dibuka kembali. Akibat senjata-senjata ini, jumlah mereka kian lama kian berkurang, dan mungkin pada suatu saat nanti, tak akan ada yang pernah bisa melihat lagi sosok mereka yang berupa potongan-potongan surga. Burung Cendrawasih hanya tinggal pertanyaan, bukan lagi wujud yang bernafas dan berperasaan. 

Semuanya itu sungguh mirip dengan siklus hidup kita sebagai manusia. Kita telah dianugerahi hidup yang begitu surgawi dan tak ternilai harganya. Kita telah diberikan kebebasan untuk memilih, dan kebebasan untuk mengecap kebahagiaan yang absolut. Tapi kemudian, kita memilih untuk diperbudak oleh gejolak egoisme, dan mengatasnamakan kesejahteraan pada rancangan-rancangan sistem yang seringkali tidak adil dan serakah. Lalu, semua ini mengakibatkan suasana tak aman dimana-mana. Berbagai kisah mengerikan telah kita dengar dari seluruh penjuru dunia. Lalu kita tiba pada pemikiran bahwa semua ini adalah nasib. Kemudian kita terus berpikir, bahwa inilah nasib yang telah Tuhan rancang untuk kita, dan pada akhirnya beberapa dari kita diam dalam kepasrahan, dan beberapa yang lain mengutuk Sang Pencipta. Ketika tahun terus bergilir, generasi masa depan yang kita besarkan nanti akan hidup tanpa tahu apa itu kebebasan. Begitulah kondisi hidup kita, saat ini. 

Jika manusia tidak pernah menciptakan senjata atas nama apapun, burung-burung cendrawasih itu masih bisa berkeliaran dengan bebas dan penuh pesona, tanpa rasa gentar akan ancaman yang merenggut hak kebebasan mereka.

EYANG

Beliau duduk di seberang sana sambil melanturkan keheningan,
Melambaikan tangan keriputnya pada siapapun yang melintas
Barangkali beliau ditemani secangkir teh hangat,
yang diletakkannya di atas meja kayu berukir antik

"Selamat sore, eyang!" Sapaan yang kerap aku lontarkan pada beliau
Yang lagi-lagi ditanggapi dengan lambaian dan lengkung senyuman
Tetapi ketika mata kami bertemu untuk saling tegur sapa,
disitulah aku mengenal suatu sosok yang sesungguhnya tidak pernah hening

Jiwa yang beliau pantulkan lewat kedua mata tua nan bijaknya
Memiliki karakteristik yang serupa dengan milikku saat ini
Sebagai sesosok orang muda yang tak kunjung pintar,
namun sekiranya menikmati apa yang ia lihat, dengar, dan alami

Dan pada saat itulah aku tahu
Apa yang ia sembunyikan dalam benaknya
Bukanlah keluhan atas rasa sakit akibat usianya
Ataupun rasa kesal atas pikirannya yang mulai pikun
Ataupun helai-helai rambutnya yang memutih
Ataupun tangannya yang kian lama makin bergetar

Aku menemukan beberapa potong kenangan manis dari sana;
Gambaran dunia dalam sisi pandang seorang anak,
Gejolak jiwa seorang pemuda pada masa-masa sekolah,
Juga semerbak kasih orangtua pada anak serta menantu dan cucunya

Kini aku sadar,
Bahwa sikapnya yang diam itu
Merupakan seruan pada Tuhan bahwa ia sudah tenang dan bahagia
Dan ia begitu bersyukur atas hiasan yang ada pada pikirannya

Dan ketika mata kami bertemu untuk saling tegur sapa di sore hari itu,
Pada saat itulah aku sadar
Bahwa dalam diam, ia melontarkan berpuluh-puluh pesan padaku,
yang sekarang kutuang dalam puisi ini
untuk mengenang beliau yang sudah berpindah dunia