Sebelum
kutuang lebih banyak kata pada sehelai kertas ini, yang kiranya telah
mengorbankan hidupnya demi sketsa ataupun rancangan kalimat penuh makna dan
pengetahuan, aku ingin memberitahu kalian terlebih dahulu bahwa akal budi itu
berasal dari kata-kata bijak, yang dilahirkan dari pikiran seseorang, yang
terinspirasi dari apa yang ia lihat ataupun apa yang ia dengar.
Kukira
kebanyakan dari kita akan menyusun paling tidak satu kata ketika mereka melihat
atau mendengar sesuatu. Kata-kata itu akan menghadapi nasib yang berbeda-beda;
beberapa akan disimpan dengan baik di dalam benak para manusia, beberapa akan
bertemu dengan rancangan kata-kata lain agar menjadi suatu karya yang penuh
hikmah, beberapa akan disimpan dalam kurun waktu tertentu sebelum dilupakan dan
hilang, beberapa akan diabaikan begitu saja, bahkan sebelum ia sempat
mempelajari ruang pikiran yang terletak di dalam kepala manusia.
Inilah
yang kudapatkan setelah melewati belasan tahun hidup dengan telinga yang terus
mendengar, mata yang terus melihat, dan pikiran yang tak pernah mau diajak
beristirahat. Tapi ujung-ujungnya, sebagian hal yang telah aku pelajari hilang
begitu saja, entahlah bagaimana nasib mereka.
Meskipun
demikian, tentu aku tidak akan pernah melupakan hal yang satu ini. Aku
memanjatkan syukur pada Tuhan karena kiranya aku bisa berhasil mengingat
untaian kalimat ini, yang berasal dari suatu gambar, yang berasal dari kampung
halamanku, tempat dimana aku menyusun masa kecil dan ilmu pengetahuan moral.
Kampung
halamanku ini disimbolisasikan dengan sesosok burung megah nan ayu, yang tak
lagi asing bagi masyarakat luas. Masyarakat kita menyebutkannya Cendrawasih, dan orang-orang Barat
menjulukinya Paradise Birds yang
berarti ‘burung-burung Firdausi’. Nampaknya mereka patut mendapatkan gelar itu,
karena ekor-ekor mereka membawa serta berkas-berkas matahari senja, dan
bulu-bulu mereka yang berwarna cokelat-tembaga seakan ingin mengingatkan kita
akan betapa kaya dan indahnya habitat mereka, meskipun terpencil dan terlupakan.
Namun,
terlupakan pun bukan menjadi halangan bagi ancaman-ancaman untuk merenggut keelokan
para penghias hutan belantara ini. Dari sinilah aku sadar akan suatu hal
mengenai mereka; mereka merupakan cerminan dari hidup itu sendiri. Layaknya
hidup, tentu sudah tak ternilai keindahan yang mereka bawa serta ketika
merintis pilar-pilar alam yang menaungi kehidupan di dalamnya. Layaknya hidup,
mereka dihadiahi sepasang sayap untuk terbang bebas seraya menikmati buaian
angin timur di cakrawala. Layaknya hidup, hidup mereka tak juga luput dari
bahaya yang kian mengintai. Pada akhirnya, beberapa dari mereka bisa bertahan
hidup, beberapa yang lain mati suri di depan senjata berasap, dan sisanya
terperangkap dalam kandang yang entah kapan akan dibuka kembali. Akibat senjata-senjata ini, jumlah mereka kian lama kian berkurang, dan mungkin pada suatu saat nanti, tak akan ada yang pernah bisa melihat lagi sosok mereka yang berupa potongan-potongan surga. Burung Cendrawasih hanya tinggal pertanyaan, bukan lagi wujud yang bernafas dan berperasaan.
Semuanya
itu sungguh mirip dengan siklus hidup kita sebagai manusia. Kita telah
dianugerahi hidup yang begitu surgawi dan tak ternilai harganya. Kita telah
diberikan kebebasan untuk memilih, dan kebebasan untuk mengecap kebahagiaan
yang absolut. Tapi kemudian, kita memilih untuk diperbudak oleh gejolak
egoisme, dan mengatasnamakan kesejahteraan pada rancangan-rancangan sistem yang
seringkali tidak adil dan serakah. Lalu, semua ini mengakibatkan suasana tak
aman dimana-mana. Berbagai kisah mengerikan telah kita dengar dari seluruh
penjuru dunia. Lalu kita tiba pada pemikiran bahwa semua ini adalah nasib. Kemudian
kita terus berpikir, bahwa inilah nasib yang telah Tuhan rancang untuk kita,
dan pada akhirnya beberapa dari kita diam dalam kepasrahan, dan beberapa yang
lain mengutuk Sang Pencipta. Ketika tahun terus bergilir, generasi masa depan yang kita besarkan nanti akan hidup tanpa tahu apa itu kebebasan. Begitulah kondisi hidup kita, saat ini.
Jika
manusia tidak pernah menciptakan senjata atas nama apapun, burung-burung
cendrawasih itu masih bisa berkeliaran dengan bebas dan penuh pesona, tanpa
rasa gentar akan ancaman yang merenggut hak kebebasan mereka.