Sunday, November 11, 2012

EYANG

Beliau duduk di seberang sana sambil melanturkan keheningan,
Melambaikan tangan keriputnya pada siapapun yang melintas
Barangkali beliau ditemani secangkir teh hangat,
yang diletakkannya di atas meja kayu berukir antik

"Selamat sore, eyang!" Sapaan yang kerap aku lontarkan pada beliau
Yang lagi-lagi ditanggapi dengan lambaian dan lengkung senyuman
Tetapi ketika mata kami bertemu untuk saling tegur sapa,
disitulah aku mengenal suatu sosok yang sesungguhnya tidak pernah hening

Jiwa yang beliau pantulkan lewat kedua mata tua nan bijaknya
Memiliki karakteristik yang serupa dengan milikku saat ini
Sebagai sesosok orang muda yang tak kunjung pintar,
namun sekiranya menikmati apa yang ia lihat, dengar, dan alami

Dan pada saat itulah aku tahu
Apa yang ia sembunyikan dalam benaknya
Bukanlah keluhan atas rasa sakit akibat usianya
Ataupun rasa kesal atas pikirannya yang mulai pikun
Ataupun helai-helai rambutnya yang memutih
Ataupun tangannya yang kian lama makin bergetar

Aku menemukan beberapa potong kenangan manis dari sana;
Gambaran dunia dalam sisi pandang seorang anak,
Gejolak jiwa seorang pemuda pada masa-masa sekolah,
Juga semerbak kasih orangtua pada anak serta menantu dan cucunya

Kini aku sadar,
Bahwa sikapnya yang diam itu
Merupakan seruan pada Tuhan bahwa ia sudah tenang dan bahagia
Dan ia begitu bersyukur atas hiasan yang ada pada pikirannya

Dan ketika mata kami bertemu untuk saling tegur sapa di sore hari itu,
Pada saat itulah aku sadar
Bahwa dalam diam, ia melontarkan berpuluh-puluh pesan padaku,
yang sekarang kutuang dalam puisi ini
untuk mengenang beliau yang sudah berpindah dunia

No comments:

Post a Comment